Tempest: Ketika Drakor Berasa Nonton Serial Hollywood – Kok Bisa?

Tempest: Ketika Drakor Berasa Nonton Serial Hollywood – Kok Bisa?

Jadi, gini guys, gue tadinya hampir skip Drakor "Tempest" ini. Kenapa? Karena doi tayang di D+ Hotstar yang masih gue boikot. Tapi, setelah gue tonton, pikiran gue langsung berubah drastis. Biasanya kan, ada serial Amerika yang vibes-nya Drakor banget, kayak "Butterfly" misalnya. Nah, "Tempest" ini kebalikannya! Padahal, sebagian besar pemain dan kru produksinya asli Korea Selatan, bahkan ada tim dari film "Parasite" juga lho! Tapi, entah kenapa, pas nonton ini, gue ngerasa kayak lagi nonton serial Amerika beneran.

Emang Boleh Se-Amrik Ini?

Gue ngerasa sah-sah aja sih bilang gitu. Soalnya, kalau diitung-itung, jam terbang gue buat nonton serial Amerika tuh jauh lebih banyak daripada Drakor. Serial Amerika tuh ada yang sampe belasan tahun tayang, episodenya bejibun, bahkan ada yang sampe 22 episode per musim. Dari SD, gue udah ngikutin beberapa judul serial sekaligus. Udah lebih dari 30 tahun lalu, bro! Sementara, gue baru ngikutin Drakor ‘baru’ sekitar tahun 2003-2004an gitu, sejak "Winter Sonata". Jadi, bisa dibilang, gue punya cukup pengalaman buat ngebandingin keduanya.

"Tempest" Itu Tentang Apa, Sih?

Singkatnya, "Tempest" nyeritain tentang Seo MoonJoo (diperanin sama Gianna Jun), seorang diplomat wanita kebanggaan Korea Selatan. Dia dipanggil pulang ke negaranya karena ada konflik kepentingan: suaminya nyalonin diri jadi kandidat presiden dari partai oposisi. Padahal, peran MoonJoo sebagai duta besar di Persatuan Bangsa-Bangsa tuh udah berhasil ngeredain ketegangan di Semenanjung Korea.

Tempest: Ketika Drakor Berasa Nonton Serial Hollywood - Kok Bisa?

Pagi-pagi sebelum ke gereja, suaminya, Jang JoonIk (Park HaeJoon), ngasih hadiah kalung salib dan minta MoonJoo buat ngobrol dari hati ke hati setelah misa. Tapi, takdir berkata lain, guys. Seorang prajurit yang punya pandangan politik beda, nembak JoonIk pas lagi pidato. MoonJoo berusaha ngelindungin suaminya yang udah terkapar. Nah, pas MoonJoo nyaris jadi korban selanjutnya, tiba-tiba muncul Baek SanHo (Kang DongWon), seorang pria terlatih yang langsung ngalahin si penembak.

Pertemuan pertama mereka tuh jadi awal dari serangkaian kejadian yang saling berhubungan. MoonJoo, yang bertekad nyari kebenaran di balik penembakan itu, dibantu sama asistennya, tim kampanye mantan suaminya, dan SanHo. Mereka berusaha ngebongkar rahasia besar keluarga Jang yang secara de facto dipimpin sama ibu mertuanya, Lim OkSeon (Lee MiSook). OkSeon ini nyalonin diri jadi presiden dan harus kerja sama sama sahabat suaminya yang jadi staff gedung putih Amerika Serikat, Anderson Miller (John Cho), demi nyegah perang antar Korea dan negara-negara sekutunya.

Kenapa "Tempest" Berasa Kayak Serial Amrik? Ini 7 Alasannya!

1. Cast-nya A-List Semua, Cuy!

Gini, sepengetahuan gue, serial Amerika tahun 80-90an tuh rata-rata pake talenta yang baru. Tapi, seiring berjalannya waktu dan kepopuleran mereka, nama mereka jadi ikut terkenal. Ada juga sih yang langsung masang satu atau dua nama besar, kayak "The Cosby Show" yang emang jualan nama Bing Cosby. Tapi, makin ke sini, serial Amerika juga ngundang nama-nama besar Hollywood.

Biasanya sih konsepnya mini series atau antologi gitu ya. Beberapa yang gue suka misalnya genre crime, ada "True Detective" yang tiap musim ganti cerita dengan tokoh utama sekelas Woody Harrelson, Matthew McConaughey, Mahershala Ali, dan lainnya. Terus, ada "Big Little Lies" yang assanamblenya pemeran wanita keren semua. Untuk genre komedi, gue suka "Only Murders In The Building" yang di season tiga ngajak Merryl Streep. Kalau yang versi seram, ada "America Horror Story" (tapi nggak semua seasons gue tonton sampe selesai sih) dan "Scream Queen" (sayang cuma dua seasons).

Nah, "Tempest" ini budgetnya jor-joran banget –70 juta Korean Won, tertinggi di produksi drakor–yang bikin mereka bisa ngerekrut pemain A-lister + the next big thing semua.

Dari Korea Selatan, ada Gianna Jun Ji Hyun, Kang DongWon, Lee MiSook, Park HaeJoon, Kim HaeSook, Won JiAn, dan Oh JungSe. Dari Hollywood, ada John Cho. Bisa dibilang, semua tokoh dapet casting pemeran yang tepat. Pengalaman emang nggak bisa bohong, guys. Mereka berhasil nampilin akting yang flawless dan menjiwai banget. Chemistry dan dinamika adu kekuatan, baik secara fisik maupun mental, bisa kita lihat dari sekadar tatapan mata atau sentuhan sekilas. Dialognya juga cerdas dan tajam. Meski kalau kurang suka politik bisa jadi agak bikin puyeng, tapi penjelasannya masih cukup mudah dipahami penonton awam sekalipun.

Keunggulan lainnya, drama ini diperkuat sama pemeran wanita dengan watak yang kuat sebagai wanita dengan posisi powerful. Presiden Chae dan Ibu JoonIk alias mertuanya MoonJoo ditampilin dengan superb sama Kim HeeSook dan Lee MiSook. Btw, John Cho jadi punya laman asianwiki karena main di drama ini. Gue cukup puas bisa ngelihat adu akting Andersen dan MoonJoo yang akhirnya sempat ketemu setelah sebelumnya cuma berhubungan lewat video conference.

2. Produksinya Nggak Kaleng-Kaleng, Bro!

Balik lagi ke budget, kayaknya D+ emang lagi ‘bakar duit’ buat beradu head to head sama platform si merah. Setelah kesuksesan "Moving", "Blood Free", "Light Shop", dan judul original lain, mereka jadi semangat banget buat produksi K-drama. Selain ngajak bintang besar, produksinya juga nggak main-main. Senjata api dan peralatan spionasenya canggih serta mutakhir. Set gereja yang dibangun buat adegan misa yang ngerenggut nyawa Jang JuNik, keren dan presisi banget. Momen ngatasin bom yang bakal meledak di kereta cepat yang lagi jalan, serta momen kampanye MoonJoo yang dihadiri banyak orang, terasa real banget. Belum lagi adegan pertempuran di atas kapal di episode terakhirnya, epic abis!

Adegan aksinya juga koreografinya top class. Salah satu favorit gue pas Baek SanHo terperangkap di elevator dalam keadaan tangan terborgol di episode 5. Ini nggak kalah dibandingkan sama adegan Captain America VS. agent Hydra yang nyamar di "The Winter Soldier" (2014). Efek CGI-nya juga mulus lah, mulai dari pencitraan Kapal Selam pembawa nuklir, ledakan pesawat nirawak di udara, sampe ke tampilan masa muda OkSeon yang gue yakin bukan cuma keajaiban tata rias semata. Sedikit yang gue kurang suka adalah editing yang kerap terasa kurang padu. Mungkin karena alurnya non-linear, jadi beberapa adegan flashback hadir di tengah cerita.

3. Plotnya… American Dream Banget!

Simplenya, plot khas American dream: damsell in distress yang diselamatin sama seorang pelindung misterius yang tampan. Di sepanjang perjalanan, mereka jatuh cinta. (Merasa udah pernah nonton? Mungkin karena udah pernah nonton film "The Bodyguard" (1992) atau "Bodyguard From Beijing" (1994)-nya Jet Li? Premisnya kira-kira sama).

Terus, tambahin bumbu konflik keluarga chaebol KorSel, lengkap dengan drama makjang, trauma antar generasi akibat perang, spionase, serta badan intelejen, kehilangan orang tersayang, dan pertarungan sengit geo-politik dunia yang bisa nyebabin perang dunia ketiga atau kiamat makin deket!! Jadi plot twist demi plot twist terasa dar der dor yang bahkan kalau ngedip dikit bisa kelewatan saking riuhnya. Satu lagi slogan yang kayaknya digunain pas nyusun naskah drakor ini: common enemy, the enemy of my enemy is my friend, saking satu pihak bisa sekejap ganti posisi. Tak ada kawan abadi dalam politik, bukan? (Ups, bukan lagi ngomongin politik negara sendiri lho, Hoahaha).

4. Penuh ‘Propaganda’ yang Tersembunyi!

Nggak bisa dipungkiri, drama ini diproduksi di bawah bendera perusahaan Disney yang berpusat di Amerika. Musuh politiknya siapa? Terserah deh, kalau mau dianggap cuma teori konspirasi. Menurut gue, dalam drakor ini yang dibidik terlalu ‘ambisius’ karena semuaaa diborong Hoahaha! Ideologi komunis: oh, ada Cina, KorUt sampe Rusia. Tempat perusahaan cangkang dan investasi bisnis tak tersentuh hukum? Argentina dan negara Amerika Tengah. Jangan lupain juga Ishida, negara fiktif yang dikisahkan berlokasi dimana? Yup, Timur Tengah (YTTA ya..)

Meski sekadar tontonan yang terasa subtle, percayalah, ini salah satu ciri khas Amerika: propaganda antek aseng selalu terasa baik di film maupun serial. Mau nggak ambil pusing dan mewajarkan aja, ya gimana, inilah kenyataan peta geo-politik internasional saat ini. Tak hanya ‘berperang’ fisik, adu narasi kepentingan masing-masing pihak di dunia maya bisa dipengaruhi melalui berbagai media, salah satu yang terasa harmless ya lewat film dan serial.

In my humble opinion, propaganda utamanya adalah reunifikasi Korea masih jauh dari kenyataan. Terlalu banyak faktor yang bisa bikin situasi jadi kacau, (dan KorSel yang bakal lebih banyak dirugiin karena kalau KorUt nothing to lose, ya kan?) Jadi, biarlah kondisi saat ini tetap bertahan di Semenanjung Korea. (Lagi-lagi), siapa yang paling diuntungin? Gue yakin, semua juga paham sih, siapa sekutu utama KorSel saat ini.

Padahal kalau dibawa serius sedikit, ada isu penting yang diangkat juga: cara Badan Intelijen suatu negara ngejebak orang tak bersalah jadi musuh politik negara dan dihabisin baik karir ataupun nyawanya dan sebaliknya, bagimana nyiptain sosok ‘Stella Huang’ yang bertujuan ngelancarin kepentingan negara. (Stella Huang sejatinya adalah seorang kapitalis sejati, baginya uang adalah hal utama –balas dendam atau alasan lain cuma pembenaran untuk mencapai keinginannya jadi yang paling berkuasa).

Satu lagi, "kenyataan" bahwa AS (melalui pejabat korup) nyuplai senjata api ke negara konflik bahkan musuh mereka sendiri demi profit juga dibahas di episode ending. Perang adalah sumber cuan. SMH. Last but not least, gue nggak tahu kelewat su’udzhon atau karena nginget peran John Cho di trilogi Star Trek Reboot (Hikaru Sulu dikisahkan nikah sama pasangan sesama jenis), gue ngelihat adegan pas Andersen bangun tidur dan di sampingnya ada pria lain itu langsung mikir "Oh, ini propaganda D+ yang pro kaum pelangi." Nau’dzubillah min dzalik.

Tempest: Ketika Drakor Berasa Nonton Serial Hollywood - Kok Bisa?

5. Intim Pas Lagi Genting-Gentingnya!

Rating 17+ udah jadi kode dari awal bahwa drakor ini ada adegan dewasa (plus kekerasan). Beberapa adegan ciuman (sampe ranjang) di antara SanHo dan MoonJoo justru terjadi pas keduanya dalam keadaan gawat. Nyaksiin keintiman mereka, di satu sisi jiwa hopeless romantic gue happy berat, apalagi chemistry antara SanHo dan MoonJoo yang uwow sekali. Tapi jujurly, logika gue juga selalu meronta-ronta setiap momen genting (di film/serial) apapun pelakon utamanya justru sempat ciuman dulu dibanding nyelamatin diri (atau dunia). Balik lagi, ini rasanya Amerika banget deh, jadi inget James Bond atau film superhero ‘kan?

Bukanya gue anti keintiman ya.. Gue justru suka banget kata-kata MoonJoo sambil natap dari pintu pembatas "Bila Aku hanya punya waktu delapan menit, akan ku habiskan denganmu" pas SanHo mintanya pergi sebelum bom waktu yang dipasang di kapal meledak.

6. Endingnya Terbuka Lebar!

Serial Amerika emang sebisa mungkin dibuat multi seasons (makin banyak ya makin bagus dong). Jadi, selain arc singkat per-episode atau beberapa episode, selalu ada benang merah yang bikin penasaran nungguin kelanjutannya. Meski dipasarin sebagai mini seri, "Tempest" ngegantungin nasib SanHo pada interpretasi masing-masing penonton. Inner Monolog MoonJoo berkata pria itu tetap akan hidup dalam hatinya bak Bintang Utara/ Polaris.

Bahkan, salah seorang Sutradaranya ikut ngasih pernyataan (lupa gue capture) bahwa Ia merasa nyesel akan ending SanHo, jadilah Ia ngasih ruang pada penonton buat ngartiin masing-masing. Jadi kalau versi gue, nginget ada adegan di mana pintu besi ruangan bom tersebut kebuka, SanHo tetap masih hidup. Dia berhasil nyelamatin dirinya tapi milih ngumpet di Gurun Gobi–tempat yang dijanjikannya bakal ngebawa MoonJoo kalau mereka kabur berdua. Kenapa Ia nggak balik ke MoonJoo? Alasan yang sama pas adegan Ia ngubur kalung MoonJoo pemberian JoonIk (yang dipungut SanHo setelah dilempar MoonJoo di depan rumah Kang Hanna), di pasir gurun. Ia pengin MoonJoo move on. Kebersamaan mereka justru bakal ngebawa sentimen negatif bagi MoonJoo. SanHo pengin MoonJoo menang sebagai presiden dan berusaha mewujudin persatuan kedua Korea.

SanHo udah kehilangan segalanya tapi Ia tetap rela ngorbanin cintanya pada MoonJoo demi greater good. Ada juga beberapa pertanyaan utama yang belum kejawab, misalnya apakah MoonJoo menang sebagai presiden KorSel yang ke-22? Gimana nasib JoonSang, neneknya, dan Kang Hanna serta anaknya? Plus siapa yang resmi mewarisi kekayaan antar generasi keluarga Jang? Gue sih YESS kalau mau ada musim kedua atau selanjutnya.

7. Hype di Sosmednya Penuh Pro-Kontra!

Sebenernya ini bukan cuma terjadi di serial Amerika Serikat ya. Tapi sejak beberapa tahun lalu ngikutin beberapa serial yang pemutarannya 12/24 Hours from US di saluran televisi berlangganan, gue jadi paham kalau publik AS bakal langsung nyampaiin protes (keras)nya ke showrunner atau stasiun televisi suatu serial di saat yang sama dengan episode lagi tayang. Istilahnya live tweet atau langsung heboh di forum daring kayak Reddit. Hebohnya tuh (menurut gue) lebih masif dibanding netizen KorSel –yang lebih kuat budaya cancel culturnya.

Biasanya studio yang bakal ngasih keputusan final, contoh yang gue tahu pasti ada Peter M. Lenkov yang setelah viral nyiptain lingkungan kerja toxic dipecat sebagai showrunner tiga versi reboot serial populer yang dikembanginnya: Magnum P.I, Hawaii Five-O, dan MacGyver. Jadi Ia nggak bakal terlibat di season berikutnya dan penonton setia tetap dapat ngikutin serial favorit mereka.

Kalau dari KorSel yang gue inget ada kontroversi Joseon Exorcist yang cuma ditayangin dua episode setelah dianggap mendistorsi sejarah. Stasiun televisi SBS tegas dengerin keluhan publik meski udah ngebayar hak siar drakor yang kabarnya syutingnya sendiri udah berlangsung 80%. Nah, Tempest adalah drakor yang udah ngelewatin proses produksi dan paska produksi jauh sebelum masa tayangnya. Jadi walaupun sempat nimbulin kehebohan di platform sosial media pas MoonJoo salah ngutip ungkapan China dan SanHo seolah lagi berada di salah satu kota negera tersebut tetapi yang ditampilan bagian kumuhnya di episode pertengahan, ya pemutaran tetap berlanjut.

Berulang pas pembahasan Ishida di episode menjelang akhir dan dikaitin sama distorsi sejarah dengan Irak. Sungguh disayangkan, nggak ada tanggapan resmi dari tim produksi maupun OTT D+ yang balik lagi ke poin nomor empat gue di atas.


Bagaimanapun, "Tempest" ini seru banget ditonton ongoing, tapi ditonton maraton, gue rasa lebih baik, biar nggak keburu lupa sama pembahasan politik dan spionasenya yang agak berlapis. Berpegang teguhlah sama kompas moral masing-masing sepanjang nonton, jangan terpengaruh aneka propagandanya. Nonton bagian adegan romancenya aja pun nggak salah sih, karena ini lebih menarik dibanding beberapa drama yang (diharapkan) romantis. Hoahaha Skor dari gue 8/10. Teman pembaca ada yang udah nonton? Let me know your opinion, too!

Previous Article

"Would You Marry Me?" Episode 1: Drama Dimulai, Jantung Berdebar!

Next Article

Bon Appetit Your Majesty Episode 12 (Ending): Happy Ending yang Bikin Baper Maksimal!

Write a Comment

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨